registerRegister

Ada dan Berlipat Ganda

“Aku akan tetap ada dan berlipat ganda” Kebenaran Akan Terus Hidup (Wiji Thukul)

/1/

Prolog

Jika kebenaran adalah hasil dari proses membentuk opini atau realitas seseorang, propaganda merupakan instrumen paling mujarab yang dapat diandalkan untuk melakukan tugas itu. Langkahnya sederhana, banjiri khalayak dengan berbagai informasi, gempur kanan kiri tanpa henti, kelak ia akan menjadi kebenaran. Propaganda bukanlah instrumen yang dilakukan secara acak tanpa tujuan jelas, melainkan instrumen pembentuk realitas atau kebenaran. Berbagai bentuk propaganda di sekeliling kita, betapapun kecil dan samarnya selalu tampak jelas tujuannya: “Ya, itu dia!”

Kemampuan propaganda untuk membentuk kebenaran menjadi menarik tatkala seseorang bisa dengan segera dan perlahan menentukan status ‘kebenaran’. Istilah propaganda acap dipahami sebagai serangkaian pesan–sebuah fakta, rumor, atau berita bohong–yang disebarluaskan untuk memengaruhi sikap atau pendapat khalayak. Maka, ketimbang mendekatinya sebagai pembentuk kebenaran, propaganda lebih menarik dikaji sebagai cara bagaimana sebuah fakta digulirkan, digandakan, dan disebarluaskan. Alasannya, propaganda memiliki tujuan yang jamak: bisa untuk mengecoh, menyesatkan, menghasut, mendistribusikan gagasan, bersikap, hingga bersolidaritas.

Dengan demikian, pertanyaan apakah propaganda merupakan sebuah kebenaran seketika menjadi usang. Sebagai gantinya, mari kita bertanya bersama-sama. Bagaimana propaganda membentuk kebenaran? Kebenaran macam apa yang dibentuk oleh propaganda? Apa tujuan dari setiap propaganda? Pameran arsip seni cetak grafis Indonesia dalam Festival Seni Cetak Grafis “Trilogia” 2024 ini harapannya dapat menjadi ruang bagi kita untuk menjawab berbagai persoalan ini, sekaligus mengajukan pertanyaan dan percakapan lebih lanjut.

Sejarah seni cetak grafis telah tersebar dan melekat dalam halaman sejarah masyarakat. Propaganda hanya sebagian kecil dari kekayaan topik seni cetak grafis Indonesia. Hubungan seni cetak grafis dan propaganda amat serasi; susah diceraikan. Seni cetak grafis yang mengganda dan distributif dengan cepat ditangkap oleh (agen) propaganda yang sekaligus memungkinkannya untuk melapangkan agenda-agendanya. Dalam pengertian lain, pameran arsip ini hendak menekankan kembali bahwa propaganda lewat seni cetak grafis merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial sehari-hari.

Pameran ini menghimpun arsip propaganda seni cetak grafis yang dibentang dari masa kolonial hingga reformasi. Durasi yang panjang ini justru membawa kami untuk kembali melihat kondisi sejarah sosial dan sejarah seni di Indonesia—hingga semesta dunia seni kita. Sejak masa persiapan pameran, proses bongkar pasang pendekatan dan pembingkaian terus-menerus dilakukan. Persoalan ini tampaknya inheren dengan riset arsip yang penuh dengan dinamika, terutama pada aspek ketersediaan, akses, tata kelola, dan paradigma pengarsipan itu sendiri. Kami kira hal ini perlu dibagikan untuk memahami kerja di balik pameran arsip ini dan bagaimana ia turut menentukan proses kuratorial.

Dialog I

Ilustrasi ini tepat untuk menggambarkan institusi arsip dalam negeri. Siang terik membakar, tapi rak-rak dokumen ruang arsip Jogja Library Centre (JLC) teramat dingin untuk disentuh. Selain proses administrasi yang bertele-tele dan setumpuk dokumen dilahap gegat, ketidakcocokan antara katalog dan arsip sungguh menjengkelkan.

Saat mengakses Harian Rakyat edisi Minggu yang berisi karya cukil dari Lekra, si petugas menjawab gagu dan canggung,

“Oh, mau cari arsip…” jeda sebentar, “yang ko… ‘kiri-kiri’ itu, ya?”

Arsip itu entah di mana rimbanya.

Ketika kami bertanya, si petugas hanya geleng-geleng karena tidak tahu status arsipnya, entah pembersihan, laminasi, digitalisasi, restorasi, atau pembatasan akses.

Sementara, di sisi tengah, ruang kecil dengan sebuah sel yang menyerupai ruang sakramen pertobatan, bertumpuk berbendel-bendel dokumen. Melihat ini semua, pertanyaan soal transparansi dan keadilan—untuk tidak menggunakan kata ‘kenetralan’— lembaga arsip kemudian hadir.

Arsip yang dingin tak terjamah itu nyatanya memiliki berbagai dimensi dan lapisan. Persoalan ragam tata kelola dan paradigma tentang ‘apa itu arsip?’ juga kami temui.

Misalnya, perspektif Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) tentang arsip berbeda dengan pemahaman kami. Saat mengecek ketersediaan dokumen-dokumen, seperti pamflet, selebaran, buletin, dan sebagainya, terkait program Keluarga Berencana (KB)— yang masif dan sistematis dipromosikan oleh pemerintah Orba— pihak ANRI justru tidak menilainya sebagai arsip. Menurut ANRI, kegandaan yang melekat pada dokumen-dokumen yang kami cari dianggap tidak sesuai dengan pemahaman arsip menurut mereka. Bagi institusi ini, arsip merupakan objek langka (tunggal) yang bernilai.

Sementara, menelisik koleksi arsip (digital) dari lembaga-lembaga di Belanda (khususnya untuk memahami propaganda di masa kolonial), ada kerumitannya sendiri. Benar bahwa digitalisasi arsip memberikan kemudahan akses. Namun, pada saat bersamaan, perlu dipahami bahwa setiap database daring adalah labirin yang riskan membuat seseorang tersesat di dalamnya. Ada serangkaian sistem yang bekerja di baliknya, dan untuk mendapatkan sesuatu, seseorang perlu memahami sistem tersebut. Sebagai contoh, kolom search dan keywords memang banyak membantu, tetapi apa yang dimasukkan di dalamnya akan menentukan hasil pencarian. Seseorang tentu akan mendapatkan hasil yang berbeda jika memasukkan kata kunci yang berbeda pula meski memiliki makna serupa, misalkan untuk kata kunci ‘anak-anak’, ‘children’ atau ‘kinderen’ (anak-anak dalam bahasa Belanda) dalam kolom pencarian. Hasil pencarian akan memberikan lebih banyak jika kita memasukkan ‘kinderen’. Tentu ini terkait dengan fakta bahwa dokumen-dokumen tersebut diproduksi oleh orang-orang Belanda. Belum lagi, logika metadata yang turut menentukan hasil pencarian.

Sebaliknya, inisiatif-inisiatif pengarsipan partikelir justru lebih luwes, fokus, dan ramah pada perubahan. Luwes dan ramahnya lembaga arsip partikelir, baik yang dikelola oleh kolektif, personal, atau yang tidak diproyeksikan untuk menjadi lembaga arsip, sesungguhnya berperan besar. Sebutlah Redi Murti dan Ruang Melamun yang tentu tidak digolongkan sebagai lembaga pengarsipan. Namun, karena mereka menilai terbitan-terbitan lawas yang mereka simpan sebagai sesuatu yang bernilai, mulailah mereka melakukan kerja-kerja pengarsipan yang organik dan sporadis, dengan seleksi berdasar atas preferensi mereka. Sementara itu, lembaga-lembaga semacam Museum Musik Indonesia dan Queer Indonesian Archive (QIA) melakukan kerja pengarsipan yang lebih fokus pada topik dan komunitas-komunitas terkait.

Situasi di atas dapat memercik semangat dan motivasi bagi pegiat seni cetak grafis yang kerap merasa dipinggirkan dalam pembicaraan seni. Sehingga nada ratapan itu dapat segera dituntaskan. Menutup babak ironi yang selama ini terdengar di sana-sini: “Tradisi seni cetak grafis itu panjang, sayang kita tak punya arsip!”

Dialog II

Propaganda bisa dikatakan hanya topik kecil dari kekayaan seni cetak grafis Indonesia. Pameran ini berusaha memungut ceceran itu, menyusun antologi, dan mengkomunikasikan ke hadapan Anda. Jauh dari kata merangkum, membuat kanon sejarah, atau bahkan mengganti sejarah. Pameran ini sekadar ingin memperlihatkan bahwa propaganda seni cetak grafis tak elit-meninggi di langit, melainkan dekat-melekat pada publiknya di era-era tertentu. Layaknya antologi, tak semua dapat dimuat, tapi setidaknya Anda dapat berselancar di atas propaganda yang memiliki cara, karakter, dan tujuannya masing-masing.

Saat berselancar di lautan arsip seni cetak grafis ini, jangan berharap bahwa arsip akan hadir secara mentah; apa adanya. Arsip bukanlah objek siap pakai. Bagi kami, bekerja dengan arsip juga soal memberi ruang kemungkinan baru bagi imajinasi dan penilaian. Arsip merupakan entitas yang secara terus-menerus butuh disilangkan dengan berbagai bentuk artikulasi: olahan bentuk, material, konteks, dan isu yang dibicarakan. Di sini, arsip seni cetak grafis hadir dalam bentuk-bentuk, untuk menyebut beberapa di antaranya adalah majalah dinding kampung dan denah rumah. Selain bertujuan memberi aksentuasi atas konteks dan isu dalam arsip, juga untuk membangun kesan—atau memicu memori dan asosiasi—pada para pengunjung.

Mimpi Barat di Timur

Mimpi Barat di Timur berisi arsip cetak berupa brosur visual-visual dari ilustrasi buku, dokumentasi bentang alam, flora, fauna, catatan perjalanan, dan brosur pariwisata di era kolonial Belanda paruh abad 19 hingga 20. Di tangan kolonial Belanda, teknologi cetak secara maksimal dipakai untuk memetakan, merekam, dan mencatat segala macam hal yang ditemui di bumi jajahan. Buku Java - Tooneelen uit het leven, karakterschetsen en kleederdragten van Java's bewoners (1855) karya W. L. Ritter berisi gambaran nyata tentang berbagai sendi kehidupan masyarakat sehari-hari di Jawa, mulai dari petani hingga perdagangan, dari pernikahan sampai festival rakyat, dilengkapi goresan-goresan litografi dengan detail menakjubkan oleh E. Hardouin. Detail tubuh, busana, dan aksesoris pada ilustrasi seorang pelaut Jawa, misalnya, mengingatkan kita pada sosok bajak laut dalam film-film tentang bajak laut. Agaknya, ilustrasi litografi Hardouin bukan pelengkap, melainkan mampu menjembatani sekaligus memprovokasi siapa saja yang tidak pernah atau bahkan belum melihat masyarakat Jawa. Tidak hanya menjembatani, namun turut membawa orang berimajinasi tentang kehidupan orang-orang di sana. Sama halnya brosur-brosur pariwisata, visual-visual yang menggiurkan dan eksotis itu secara langsung dan tidak telah menggeser posisi kita, dari semula beraktivitas sehari-hari menjadi seorang turis/ wisatawan. Betapapun problematisnya naturalisme, memang, sesekali ini dapat memprovokasi kita untuk datang langsung atau mengkhayalkannya tanpa henti.

Menjelang Hari Gemilang

Menjelang Hari Gemilang fokus pada propaganda di 3,5 tahun masa pendudukan Jepang di Indonesia. Pada periode ini kita sama-sama melihat bagaimana imajinasi tentang persatuan Asia, gagasan tentang pembangunan, dan ajakan untuk mendukung Jepang di masa perang Asia-Pasifik hadir dalam arsip poster perang Jepang. Mendaku sebagai saudara tua, Jepang punya andil penting dalam membentuk dan menyebarluaskan gagasan tentang nasionalisme Indonesia. Di masa Jepang, pendidikan/ pelatihan—mulai dari membuat kereta api hingga seni rupa, misalnya—menjadi lebih aksesibel untuk khalayak luas. Pendidikan/ pelatihan ini umumnya dibarengi dengan gagasan tentang membangun masa depan Indonesia. Ini berbeda dengan laku kolonial Belanda yang lebih mengutamakan kaum ningrat. Bagaimana Jepang membentuk dan menyebarluaskan gagasan tentang nasionalisme kentara betul dalam arsip-arsip majalah Djawa Baroe. Menelisik edisi-edisinya, dengan detail terlihat bagaimana gagasan ‘menjadi Indonesia’ coba dibentuk oleh Jepang. Ajakan bekerja untuk membangun Indonesia dan Asia Raya muncul berulang-ulang lewat artikel, berita, lirik lagu, foto, dan ilustrasi. Di mana pada intinya, jika diletakkan dalam ruang dan waktu pendudukan Jepang, tidak lain adalah usaha untuk mengerahkan tenaga Indonesia sebagai bala bantuan bagi Jepang. Agak berbeda dengan poster, yang lantang dalam menyampaikan propagandanya, Djawa Baroe lebih sering pelan dan halus. Djawa Baroe pun turut memberi ruang bagi tokoh-tokoh nasional Indonesia. Soekarno, misalnya, hadir berkali-kali di sana menyatakan tentang bagaimana Indonesia bisa seturut dengan Jepang dalam upaya mencapai kemerdekaannya. Menarik untuk ditelisik: sejauh mana nasionalisme yang coba dibentuk oleh fasisme Jepang diamini dan atau didialogkan oleh tokoh-tokoh nasional Indonesia kala itu? Pun jelas, mereka yang memiliki afiliasi politik menyerukan internasionalisme, tidak—dan sulit dibayangkan untuk—hadir di Djawa Baroe. Dalam memilah arsip Djawa Baroe, kami berpegang pada tiga babak: masa kejayaan, masa pertahanan, dan masa kehancuran Jepang. Visual dan teks yang hadir dipilih untuk menampilkan imajinasi dari tiga masa tersebut, tak ketinggalan soal emosi-emosi yang ada di sana. Sebagai penyerta suasana, ada audio Mars Romusha bekerja… bekerja…. dan pembacaan cerpen Menjelang Hari Gemilang.

Berjuang dengan Poster

Dengan bingkai era revolusi kemerdekaan Indonesia, Berjuang dengan Poster menampilkan produksi cetak poster dari kelompok bernama Persatoean Tenaga Peloekis Indonesia (PTPI). Berdiri pada 10 Oktober 1945 di Bintaran, Yogyakarta, PTPI berkomitmen dalam gerakan kemerdekaan dengan mengorganisasi warga, anak sekolah, dan pemerintahan di tengah keterbatasan skill, material, dan sumber daya dalam kecamuk perang. Di saat kebanyakan sipil berperang dengan angkat senjata, elit politik membangun sistem pemerintahan, diplomasi, dan bernegosiasi dengan pihak musuh, sekelompok seniman dan warga mencetak poster-poster propaganda yang menakjubkan. Bagaimana tidak, dalam sehari, 1000 poster diproduksi dan didistribusikan ke penjuru negeri. Di Pulau Jawa, poster disebarluaskan melalui kereta yang bekerja sama dengan Djawatan Kereta Api. Sementara di luar Pulau Jawa, Sulawesi, misalnya, poster dikirimkan lewat pesawat oleh Angkatan Udara. Menariknya pula, rupanya PTPI memiliki manifesto poster dan membagi 4 jenis poster:

1.Poster karikatur dicetak di atas kertas dan ditempel di tembok atau papan pengumuman

2.Poster pada papan besar dan spanduk di sekitar jalan

3.Poster cetakan cliche (klise) berwarna dan berisi slogan-slogan, dan

4.Poster sorot atau poster proyektor (seperti slide) dengan epidiaskop (semacam proyektor) seperti pertunjukan wayang.

Empat jenis poster ini menarik, karena selain mengeksplorasi teknik cetak, bahan, material, PTPI juga membuat persilangan media proyektor dan seni pertunjukan.

Sekali Lagi, Menggugat

Sekali Lagi, Menggugat fokus pada arsip karya cukil dan ilustrasi buku Lekra. Lekra penting untuk dihadirkan karena penghapusan legasinya sejak 1965. Pun, rasanya tidak mungkin membicarakan tema propaganda tanpa menampilkan karya-karya Lekra yang di masa kejayaannya punya andil besar dalam memobilisasi rakyat untuk berafiliasi—atau setidaknya bersimpati—dengan garis politik Partai Komunis Indonesia (PKI). Menariknya, walau benar realisme sosialis menjadi aliran dominan karya-karya seni Lekra, ada beberapa yang memiliki kekhasannya sendiri. Misalnya, dalam karya-karya cukil Wen Poer, meski tetap menampilkan petani sebagai karakter ikonik dalam tradisi komunis dunia ketiga, punya kesan impresionisme yang cukup kentara. Begitu pula dengan karya Ng. Sembiring. Pertanyaan turunan yang bisa diajukan adalah mungkinkah percakapan mengenai Lekra dalam kajian seni Indonesia mulai beranjak dari pengulangan tentang realisme sosialisnya? Dan bagaimana cara membincangkannya? Tentu, dalam kasus Lekra, proses pemberangusan yang dilakukan oleh Orba menyulitkan proses kajian. Kita tidak pernah tahu berapa tepatnya karya intelektual dan seni yang hilang dalam pusaran genosida 1965-66. Pada saat yang sama, yang tersisa juga sulit dipetakan keberadaannya. Kadang mereka ada di institusi-institusi arsip dalam dan luar negeri—dengan lika-liku aksesnya masing-masing. Tak jarang pula jadi koleksi pribadi. Arsip ilustrasi buku-buku Lekra yang hadir dalam pameran ini jatuh dalam kategori kedua. Pengarsipan partikelir yang dilakukan oleh Redi Murti memungkinkan kami untuk bertemu dengan buku-buku penulis Lekra yang visualnya digarap oleh seniman Lekra. Untuk menyebut beberapa di antaranya, ada Si Kampeng karya Utuy T. Sontani yang visualnya dikerjakan oleh Basuki Resobowo, atau karya Utuy yang lain, Si Sapar dengan ilustrasi dari Wen Poer.

Membangun Keluarga Berencana

Program Keluarga Berencana (KB) menjadi salah satu arsip propaganda di masa Orba. Spesifik kami mulai risetnya dari memori atas pengalaman menjadi kanak-kanak di masa itu. Selain KB, propaganda yang melekat dengan sangat baik adalah jargon 4 sehat 5 sempurna. Bisa jadi karena berangkat dari memori kanak-kanak itu pulalah maka pilihan arsip dan cara menampilkannya menjadi sangat sehari-hari dan mikro.

Apalah masa kanak-kanak kalau bukan soal rumah, menonton TV, minum susu, belajar, memiliki hobi filateli. Segala aktivitas ini bisa saja dimaksudkan sebagai miniatur kehidupan keluarga di masa Orba. Ini adalah tentang bagaimana kuasa yang otoriter itu bekerja hingga ke ranah privat seseorang: isi perut dan urusan ranjang. Program 4 sehat 5 sempurna tentu saja bukan hanya perkara bagaimana anak tumbuh sehat. Lebih dari itu, ia tidak lepas dari politik pangan; tentang bagaimana masyarakat Indonesia jadi akrab dengan perilaku mengeluarkan uang untuk membeli susu formula.

Mencetak Masa Kecil

Mencetak Masa Kecil adalah bagaimana tangan-tangan halus propaganda membelai alam pikir anak-anak (yang berbeda-beda) dari masa ke masa. Di masa kolonial Belanda, buku berisi cerita petualangan/ perjalanan anak di Hindia Belanda ternyata cukup populer. Ditujukan untuk anak-anak Belanda, buku-buku ini jadi semacam perkenalan mereka tentang tanah jajahan. Anak-anak Belanda yang lucu dan penuh rasa ingin tahu itu umumnya digambarkan sedang bermain bersama, berinteraksi dengan orang tuanya, dan menjelajahi alam. Masyarakat kolonial hadir sebagai latarnya. Kita bisa melihat bagaimana dalam ilustrasi-ilustrasi Jetses anak-anak Belanda tampak sedang bermain, berinteraksi dengan orang tuanya, dan tak jarang tergambar pula babu yang sedang bekerja untuk keluarga Belanda, entah menimba air atau merawat salah seorang anak.

Kami juga menemukan buku cerita anak Belanda yang menggambarkan kehidupan anak-anak Indonesia (umumnya Jawa) dengan aktivitas yang beragam; mulai dari bermain dengan sesama hingga bekerja (menukang atau berjualan). Kami membayangkan, lewat membaca buku-buku semacam ini, anak-anak Belanda jadi memiliki gambaran tentang struktur sosial masyarakat kolonial, posisi mereka sebagai anak Belanda, dan seperti apa kehidupan di tanah jajahan pada umumnya.

Di bagian ini, hadir juga materi-materi pelajaran membaca—mulai dari masa kolonial hingga Orba. Materi-materi dari masa yang berbeda ini bisa dilihat tidak hanya sebagai materi ajar tentang membaca, tetapi juga tentang struktur sosial yang lebih luas dari pada itu. Misalnya, saat buku pelajaran membaca bahasa Belanda yang disebarkan di daerah jajahan memilih ‘inlander’ disertai dengan gambar seorang pribumi sedang mencangkul di sawah untuk menerangkan huruf ‘I’, ini akan membentuk gambaran anak tentang apa dan bagaimana ‘inlander’ itu.

Sebagai bagian yang diperuntukkan untuk anak-anak, Mencetak Masa Kecil juga memungkinkan pendekatan yang lebih interaktif dengan arsip. Ada sudut baca berisi arsip majalah anak-anak lawas—Kutilang dan Kuncung— disertai dengan mainan/ prakarya yang bersumber dari arsip terhimpun. Selain memungkinkan anak-anak untuk bereksplorasi dan bermain di ruang pamer, kami juga membayangkan mereka terfasilitasi untuk menemukan dan mengimajinasikan kehidupan dan cerita anak-anak seusia mereka bertahun-tahun yang lalu. Secara umum, sudut ini dimaksudkan untuk menyerupai taman kanak-kanak atau sekolah pada umumnya—tempat di mana anak-anak belajar banyak hal, sekaligus tempat mereka dicetak menjadi individu-individu yang sejalan dengan nilai-nilai dalam masyarakat; dengan seni cetak grafis menjadi medium bagi keduanya.

Agak Berisik, Harap Maklum

Agak Berisik, Harap Maklum menampilkan arsip-arsip tentang dinamika kehidupan anak muda. Masa dalam hidup seseorang yang umumnya penuh mimpi, eksperimentasi, perlawanan, dan pencarian identitas, untuk menyebut beberapa. Materi yang hadir di sini kebanyakan berbentuk majalah, terbitan independen, dan poster—objek-objek yang umumnya lekat dengan anak muda. Visual maupun teks yang hadir sangat mungkin dianggap ‘menyeleweng’ dari standar nilai masyarakat (Indonesia) pada umumnya. Entah dari semangat independen dan anti-kemapanan, kegemaran atas konten-konten vulgar dan nyeleneh, hingga identitas seksual yang non-hetero. Materi-materi arsip ini juga sangat mungkin membuka percakapan soal bagaimana yang ‘aneh’, ‘porno’, dan ‘tidak senonoh’ bergerak dalam lintas sejarah sosial Indonesia. Apa yang hari ini umum dianggap tabu atau kurang pantas, bisa jadi hal biasa 25 atau 40 tahun yang lalu. Sebagai contoh, di tahun ‘90an, lomba-lomba peragaan busana waria adalah hal yang lumrah. Hari ini, bisa jadi sangat riskan untuk menggelar acara serupa.

Untuk bagian ini, kami bekerja sama dengan inisiatif-inisiatif pengarsipan komunitas seperti Perpustaxaan yang fokus mengarsipkan terbitan-terbitan musik dan subkultur underground dan Queer Indonesian Archive (QIA) yang mengarsipkan terbitan-terbitan komunitas queer di Indonesia pada 1982 hingga pertengahan 2000—seiring dengan transisi dari media cetak ke daring.

Bagi kami, terbitan-terbitan komunitas macam ini, beserta kerja distribusi di baliknya, bisa dilihat sebagai propaganda ala mereka. Terbitan-terbitan ini tak hanya mengekspresikan gaya hidup, identitas, dan nilai yang mereka hidupi. Lebih dari itu, media-media ini memungkinkan mereka untuk bersama-sama membayangkan masa depan dan kemungkinan lain bagi komunitasnya.

Epilog

Pada akhirnya, arsip-arsip seni cetak grafis dalam pameran ini mustahil hadir tanpa kerja-kerja pengarsipan yang dilakukan oleh individu/ kolektif/ organisasi yang berkenan mengkontribusikan arsip mereka. Mengingat kerja-kerja sunyi dan berdebu ini tak mudah dilakoni, pun jauh dari cahaya dan tepuk tangan, apresiasi sangat layak diberikan. Proses riset ini membuat kami semakin paham bahwa pengarsipan seni cetak grafis masih kurang digarap—untuk tidak menyebutnya langka. Sekaligus, kami meyakini, masih ada lembaga/ individu yang melakukan kerja-kerja pengarsipan partikelir dengan fokus pada keberagaman bentuk seni cetak grafis dan koleksinya belum terhimpun oleh kami. Harapannya, pameran ini juga menegaskan pentingnya inisiatif-inisiatif semacam itu dan membuka pembicaraan atas pentingnya pemetaan arsip dan kerja pengarsipan seni cetak grafis.

Langkah kecil ini, sekali lagi, adalah usaha untuk mengurai hal-hal besar yang masih seringkali belum dieksplorasi dengan sungguh-sungguh dalam panjangnya rangkaian sejarah seni cetak grafis Indonesia. Segala keterbatasan dalam pameran ini, baik ketersediaan arsip, pilihan tema, keputusan artistik, dan pendekatan kuratorial, kami sadari hadir dalam keterkaitan antara satu sama lain. Dari kerja mempersiapkan pameran ini, kami juga sadar bahwa kerja kuratorial memiliki perspektif dan pendekatan yang tidak bisa dipaksakan kepada arsip. Sebaliknya, arsip selalu menantang kerja kuratorial, karenanya kami perlu lebih lentur dan adaptif atas berbagai kemungkinan yang disediakan oleh arsip. Dengan kata lain, jika seseorang mau mendengarkan gambar dan suara di dalam arsip dengan lebih dekat, ia mungkin bisa belajar lebih banyak dari sana.

Pameran arsip propaganda seni cetak grafis bukan sekadar kumpulan materi visual semata. Ini juga soal kisah yang menyertai perjalanan masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu. Kisah yang dituturkan melalui berbagai teknik atau teknologi cetak yang tersemat pada kertas-kertas sampul buku, catatan perjalanan, ilustrasi buku, catatan etnografis, kajian sains, brosur wisata, ilustrasi poster jalanan, iklan layanan masyarakat, perangko, majalah, hingga terbitan mandiri. Anda sedang berhadapan dengan kisah tentang sebuah masyarakat. Kisah yang tak selalu enak untuk dinikmati, tapi mungkin saja dan bisa jadi perlu dijelajahi. Tak perlu tergesa-gesa menilai arsip-arsip yang dihadirkan; dengarkan, bicarakan, dan ceritakan.

Bagaimana? Sudah siap dipropaganda?