Wajah, Praktik, dan Arena Seni Cetak Grafis Kontemporer
Dalam arena seni rupa kontemporer di Indonesia, perwajahan karya seni cetak grafis tidak serta-merta hanya dipersepsikan sebagai karya dua dimensional berbasis media kertas. Pada konteks estetika, karya seni cetak grafis dalam arena ini juga tidak hanya berbasis estetika formalis yang jamak diaplikasikan dalam karya seni lukis. Maka dari itu, kita dapat meminjam pandangan bahwa perwajahan karya seni cetak grafis dalam seni rupa kontemporer hadir sebagai manifestasi dari persinggungan tiga kondisi: (1) tarik-ulur kerja mekanis dan humanis dalam teknologi cetak; (2) perluasan area praktik seni visual; dan (3) penggunaan bahasa komunikasi dalam pengembangan ide artistik (Kirker, 2009).
Kondisi tarik-ulur kerja mekanis dan humanis dalam teknologi cetak merupakan implikasi dari berkembangnya watak pemikiran pascamodern dalam arena seni rupa kontemporer. Seni cetak grafis yang punya kaitan kuat dengan kerja mekanis dari alat atau mesin cetak dalam seni rupa kontemporer berada pada kondisi yang tidak nyaman karena pengaruh pemikiran pascamodern, sehingga perkara utamanya bukan lagi perkara teknis. Pemikiran pascamodern telah menyeret masuk isu-isu terkini dalam realitas kehidupan masyarakat sehari-hari menjadi perkara lain yang dominan dalam praktik seni cetak grafis kontemporer (Sucitra, 2015).
Kondisi perluasan area praktik seni visual dalam praktik seni cetak grafis di arena kontemporer mengarah kepada upaya menyiasati kungkungan berbagai kesepakatan yang selama ini dianggap sebagai konvensi seni rupa modern. Kondisi yang demikian dapat dilihat salah satu contohnya dalam fenomena karya seni cetak grafis monoprint. Karya monoprint kerap dipandang sebagai pembangkangan terhadap konvensi seni cetak grafis karena menolak reduplikasi (Suseno, 2014).
Kondisi penggunaan karya seni cetak grafis sebagai bahasa untuk mengkomunikasikan ide artistik berkaitan dengan karakter dari karya seni tersebut, yaitu massal. Dalam arena seni rupa kontemporer karya seni cetak grafis bukan lagi pelaksanaan kredo art for art’s sake seperti pada seni rupa modern. Karya seni cetak grafis pada arena ini adalah upaya transfer gagasan dan pengetahuan, pengembangan wacana serta melakukan proses komunikasi (Zahrawaan, 2022) dengan memanfaatkan karakter praktik artistiknya yang masal tersebut.
Berangkat dari irisan ketiga kondisi di atas, maka kerangka kuratorial dalam pameran ini memiliki satu tujuan khusus, yaitu menelusuri kembali perwajahan karya-karya seni cetak grafis yang dipersepsikan sebagai karya expanded printmaking, baik dalam konsep visual dan non-visualnya, akibat dari perkembangan arena seni rupa kontemporer. Pameran ini akan menyajikan capaian-capaian artistik yang sifatnya ideologis, meluas dan menjalar.
Menoreh Garis Batas
Dalam kerja kurasi untuk pameran ini, pertama-tama dilakukan pembacaan terhadap konsep expanded printmaking itu sendiri. Problem yang mau dilalui lebih dulu adalah perdebatan atas istilah expanded untuk menentukan batas keluasan macam apa yang disepakati dalam kuratorial ini. Penentuan ini mempertimbangkan beberapa aspek: konvensi, material, gestur dan konteks historis serta politis.
Mempertimbangkan aspek konvensi yang dimaksud di sini bukan merupakan upaya untuk memegang teguh prinsip-prinsipnya secara ketat. Justru sebaliknya, prinsip-prinsip konvensi seni cetak grafis dalam kuratorial ini coba dinegosiasikan selentur mungkin. Proses negosiasinya dilakukan dengan mendudukan wacana konvensi tersebut di hadapan pernyataan, perdebatan dinamis dan perluasan praktik yang mengelilinginya. Pertimbangan prinsip-prinsip konvensi ini melibatkan perbincangan mengenai beberapa tegangan seperti watak editioning, penggandaan dan repetitif dengan monoprint, otentisitas yang tunggal serta citraan yang unik.
Pertimbangan kedua adalah perkara material yang dipilih. Karya-karya seni cetak grafis yang selama ini identik dengan material cetak berupa kertas, coba diperiksa kembali dengan cara pandang yang lebih luas. Sifat permukaan yang datar dan citraan dua dimensional pada karya-karya berbasis kertas menjadi titik tolak untuk mempertanyakan kembali esensi pemilihan materialnya, apakah memang keharusan atau hanya kebiasaan belaka. Karya-karya expanded printmaking kemudian menunjukan bahwa sebuah karya grafis tidak melulu hadir dalam permukaan datar dan sifat dua dimensional dari material kertas. Eksperimentasi penggunaan material terjadi seluas dan sejauh mungkin pada arena seni rupa kontemporer.
Pertimbangan ketiga, soal menginterpretasikan gestur dalam metode kekaryaan. Pada dasarnya, gestur dipengaruhi oleh sebuah transisi dari kebiasaan, menjadi tradisi dan kemudian membudaya. Melalui pertimbangan ini, dalam konteks seni rupa kontemporer, karya-karya expanded printmaking bisa saja dimunculkan dengan menggunakan metode atau tahapan penciptaan yang tidak memiliki kesesuaian dengan metode ‘sekolahan’. Ada banyak yang bisa diperdebatkan dalam hal metode penciptaan ini, namun gestur dalam penciptaan karya expanded printmaking di sini adalah menemukan jejak ‘gestur mencetak’ dalam arti yang luas pada metode penciptaan karya seni cetak grafis tersebut.
Terakhir, pertimbangan keempat adalah konteks historis dan politis. Tujuan atas pembacaan konteks historis dan politis dari konsep expanded printmaking ini adalah menghindari pemaknaan dan juga pernyataan yang sifatnya absolut. Pemaknaan dan pernyataan atas konsep expanded printmaking adalah luaran dari sebuah upaya terus menerus menegosiasikan definisinya dalam sebuah perpindahan konteks waktu. Oleh sebab itu, expanded printmaking menawarkan nilai perluasan praktik dengan kadar yang berbeda-beda antar momentumnya. Sebuah karya seni cetak grafis dapat dipandang sebagai praktik expanded pada periode tertentu, akan tetapi kadarnya akan berkurang pada periode-periode selanjutnya. Semuanya bergantung pada konteks waktu yang digunakan untuk membacanya.
Berangkat dari pertimbangan demi pertimbangan tersebut, maka expanded printmaking dalam kerja kuratorial pameran ini diposisikan sebagai karya seni cetak grafis yang: (1) melampaui konvensi namun tidak mengingkari watak dasarnya; (2) memiliki semangat eksperimentasi material seluas dan sejauh mungkin; (3) menunjukan gestur mencetak dalam metode kekaryaannya; dan (4) mengandung nilai perluasan praktik yang melekat pada konteks perpindahan waktu. Keempat poin ini, ditambah dengan tiga kondisi manifestasi seni cetak grafis dalam arena seni rupa kontemporer yang telah disebutkan di awal kemudian menjadi cara baca tim kuratorial terhadap seluruh karya yang dipamerkan dalam pameran ini.
Membaca Wajah Karya
Pada karya-karya Nunung Nurjanti dan (alm.) Y. Eka Suprihadi dapat dibaca bahwa berdasarkan konteks tahun penciptaannya (1960an sampai 1990an), dorongan eksplorasi untuk melampaui kebiasaan pemilihan teknik dan material penciptaan karya seni cetak grafis di kala itu muncul dengan kuat. Karya-karya yang sarat dengan visualitas objek flora-fauna serta mitologi dengan nuansa dekoratif ini dapat ditangkap sebagai jejak pertumbuhan kekaryaan keduanya dalam merespon dinamika arena seni rupa di Indonesia dari tahun ke tahun.
Intensi ini dapat dilihat dari penggunaan teknik sablon rubber pada media kain berkolin dan tetoron berpori besar dalam seri karya White on White (1978) dari Nunung Nurjanti, yang mengesampingkan kombinasi warna dalam rangka menonjolkan tekstur. Alih-alih memanaskan hasil cetakan rubber pada kain menggunakan setrika, Nunung Nurjanti justru mengandalkan uap air mendidih untuk menghasilkan tekstur cetakan yang menonjol ke permukaan. Eksplorasi untuk menonjolkan tekstur juga muncul pada karyanya yang berjudul Sudamala (1998). Kali ini Nunung Nurjanti bermain-main dengan logika relief. Aspek dimensional diekspos betul untuk menonjolkan tekstur kedalaman (dimensi) pada hasil cetak grafis yang bersifat dua dimensional. Temuan pembacaan yang lain dalam karya ini adalah logika menggambar secara terbalik (invert) yang khas dari seni cetak grafis.
Dalam karya Y. Eka Suprihadi yang berjudul seri Cetak Tempel (1976), intensi eksplorasi serupa juga dapat terbaca. Y. Eka Suprihadi pada tahun tersebut mengadopsi teknik cetak kolase dengan menggunakan potongan-potongan kain strimin untuk mencetak visual. Penggunaan teknik cetak kolase dan material kain (kassa) sebagai alat penghantar visual juga muncul dalam karyanya yang lain berjudul Ayam Jantan (1990). Logika kolase pada karya-karya Y. Eka Suprihadi kemudian terus berkembang pada periode berikutnya, era 1990an akhir. Karya berjudul Peasant Life (1996) kemudian menjadi manifestasi penemuan identitas visualnya yang diberi nama ‘Lukgraf’ (Lukis Grafis).
Identitas visual tersebut juga dapat dibaca sebagai intensi mengedepankan sifat unique piece (monoprint) pada karya-karya Y. Eka Suprihadi. Sesungguhnya intensi ini sudah muncul pada karya-karyanya sebelum 1990an, yaitu karya Binatang Mitologi (1984) dan Sang Hyang Wenang (1987). Y. Eka Suprihadi mengadopsi logika seni lukis untuk memberi lampu sorot pada keunikan karya cetak grafisnya. Dalam karya-karya Y. Eka Suprihadi, penggunaan teknik cetak secara saling-silang pada karya-karyanya (cetak kolase, rubbing, tusir dan relief) adalah upayanya membebaskan material untuk menciptakan bentuk sebuah citraan (image).
Temuan catatan atas karya-karya Nunung Nurjanti dan (alm.) Yohanes Eka Suprihadi ini memiliki irisan yang cukup tebal tebal dengan karya dari F. X. Harsono dan Budiyono Kampret yang juga turut dipamerkan. Dalam salah satu seri karya F. X. Harsono yang dipamerkan, berjudul Rewriting on the Tomb (2010-2019), terbaca pula upaya bermain-main dengan teknik cetak relief bersifat deboss, seperti pada karya Peasant Life (1996) versi berwarna dari (alm.) Yohanes Eka Suprihadi. F.X. Harsono yang menjadikan bongpay (dialek Hokkian) sebagai master cetaknya menggunakan teknik rubbing dengan krayon warna untuk menghasilkan visual. Namun, karya Rewriting on the Tomb ini punya nuansa yang berbeda. F. X. Harsono mengangkat isu politik identitas, khususnya minoritas Tionghoa, sebagai konsep non-visualnya.
Bergeser pada karya-karya Budiono Kampret yang dipamerkan, berjudul Patung Tanpa Kepala-2, Sang Budhanaga, Nandi, Raden Wijaya dan Dewi Saraswati (seluruhnya dibuat pada 2012), praktik bermain-main dengan cetak relief muncul dengan sedikit berbeda. Budiyono mengambil posisi sebaliknya, cetak relief dengan sifat emboss, memanfaatkan sisi yang menonjol dari master cetaknya yang berupa beberapa relief serta arca dalam komplek Candi Sukuh. Dalam aspek non-visual, Budiyono Kampret mengeksplorasi mitologi dalam karya-karyanya ini, senafas dengan beberapa karya Nunung Nurjanti dan (alm.) Yohanes Eka Suprihadi. Visualitas mitologi tampak meyakinkan sebagai inspirasi kekaryaan mereka.
Masih berkaitan dengan karya Rewriting on the Tomb (2010-2019) dari F.X. Harsono, karya Tintin Wulia yang berjudul Microstudy for Wanton (2008) juga menyinggung persoalan politik identitas. Namun, pada karyanya ini, Tintin Wulia mengeksplorasi persoalan tersebut dalam rupa isu politik dalam migrasi manusia. Kontrol atas perbatasan dan kekhawatiran atas intensnya lalu lintas perpindahan manusia antar negara dipandang Tintin Wulia sebagai sumber kekerasan dari politik migrasi. Gagasan ini kemudian dibungkus oleh Tintin Wulia menggunakan medium instalasi dua saluran video yang tersinkronisasi. Dalam kedua video tersebut diputarkan adegan menjepit nyamuk dalam sela-sela halaman paspor yang dibaca oleh tim kuratorial sebagai gestur mencetak. Bercak darah nyamuk yang tercetak dalam halam paspor ini yang kemudian menjadi terjemahan visual atas kekerasan yang timbul dalam politik migrasi manusia.
Gestur mencetak juga jadi pintu masuk tim kuratorial untuk membaca karya Munif Rafi Zuhdi. Dalam karya yang dipamerkan kali ini, berjudul Lalu Lalang (2021), Munif berupaya untuk merekam jejak dengan mencetak residu mobilitas manusia yang berlalu-lalang mengisi, menempati dan mengosongkan ruang. Munif menggunakan pengesat kaki (keset) sebagai master cetakannya dan memanfaatkan kotoran debu yang menempel sebagai tinta cetaknya. Pengesat kaki ini, bagi Munif, adalah simbol dari pembersihan diri manusia yang tengah berlalu-lalang. Hasil cetakan pengesat kaki pada kertas kemudian menjadi rekaman jejak lalu-lalang tersebut.
Pembacaan kemudian berlanjut pada karya Aurora Arazzi dan Adi Sundoro. Kali ini payung pembacaan yang digunakan tim kuratorial adalah seni cetak datar atau litografi. Aurora Arazzi dalam karyanya yang berjudul Ode to Lithography (2020) berupaya untuk menyoroti persilangan alur proses cetak pada arena seni rupa kontemporer dalam instalasinya. Konsep instalasi yang ditawarkan adalah ulang-alik antara objek dua dimensional dan tiga dimensional. Aurora Arazzi menginginkan seluruh detil proses cetak litografi bisa muncul dalam ruang pamer dengan menghadirkan instalasi perkawinan sculpture-printmaking.
Karya Adi Sundoro, berjudul Spread and Distribute: Shared (v.1.0) (2023), dibaca oleh tim kurator sebagai sebuah respon yang masih mirip. Adi Sundoro juga berangkat dari logika litografi, di mana reaksi pertemuan antara air dan minyak punya pengaruh krusial. Instalasi juga jadi pilihan Adi Sundoro untuk menyampaikan gagasan artistiknya ini. Rasionalisasinya terdiri dari dua hal: (1) unsur minyak dan air dalam kerja litografi; (2) penggandaan gambar menggunakan plat cetak. Konsep visual tersebut kemudian dipadukan dengan perhatiannya pada banjir informasi di era digital hari ini. Melalui Spread and Distribute: Shared (v.1.0), Adi Sundoro berintensi untuk mengajak apresiatornya mengambil jeda sebelum bereaksi di tengah lautan informasi yang volume dan gelombangnya bertambah serta berlalu secara cepat.
Fenomena yang menyeruak di era digital hari ini juga menjadi isu yang direspon dalam karya Trio Muharam, berjudul NOIR: Under Construction, history of surrealism and consumerism days (2024). Konsep non-visual dari karya ini menggarisbawahi aspek keberlangsungan yang cepat, temporer dan bersifat letupan untuk menyasar praktik komodifikasi, industrialisasi dan serangkaian kerja kapital yang mengelilingi keseharian masyarakat. Aspek ini kemudian diterjemahkan secara visual melalui penggunaan pencetak termal sebagai alat cetaknya. Pemilihan pencetak termal sebagai alat cetak ini dibaca oleh tim kuratorial sebagai penebalan atas aspek temporer dan cepat pada hasil cetakan.
Pemosisian kerja-kerja kapital, komodifikasi dan industrialisasi sebagai sasaran respon sebuah karya seni juga terjadi pada karya Dodi Irwandi yang dipamerkan dengan judul MC Clown (2014). Karya berupa silent comic dengan metode penciptaan cetak tinggi ini mengembangkan potensi karya seni cetak grafis sebagai bahasa artistik menyampaikan gagasan/ isu tertentu (kapitalisme/ masyarakat konsumtif). Selain MC Clown (2014), dipamerkan pula karya lain dari Dodi Irwandi yang berjudul Spekulasi (2008). Karya ini masih berangkat dari metode penciptaan yang sama, teknik cetak tinggi, dengan format yang cukup berbeda, yaitu art book.
Masih berada pada kecenderungan artistik yang serupa, Redi juga menggunakan gestur seni cetak grafis sebagai bahasa artistik untuk menyampaikan isu soal sengketa lahan (agraria). Format visualisasi yang digunakan sama dengan Dodi Irwandi, yaitu komik. Redi mencetak dua volume komik yang diberinya judul Hidup dan Mati di tanah Sengketa (2014) dan Merdeka dan Sengketa (2021). Kedua volume komik yang pembuatannya menggunakan teknik cetak tinggi ini disebut oleh perupanya sebagai ‘komik advokasi sejarah kampung’. Perbedaan antara karya Redi dan Dodi Irwandi terletak pada penyajiannya. Jika Dodi Irwandi memilih tampilan penyajian selayaknya buku pada umumnya (pada bagian sampul dilapisi dengan kain), Redi memilih bentuk model alat musik akordeon (memanjang dan memendek sesuai jumlah lipatan).
Karakter woodcut dalam karya Dodi Irwandi dan Redi Murti ini dapat dibaca sebagai visual perlawanan secara populer. Baik perlawanan dalam ranah isu dan gagasan, maupun perlawanan kepada dominasi media cetak yang sudah umum dan mapan. Keputusan Dodi Irwandi dan Redi untuk mengeksekusi penggandaan karya mereka menggunakan cetak woodcut secara manual tersebut terkesan sebagai resistensi atas kepungan mesin cetak digital print yang selama ini menjadi moda utama penggandaan buku. Teknik cetak ini juga menjadi representasi dari semangat do it yourself (DIY), yang tidak memerlukan banyak alat bantu untuk bisa melakukannya.
Dalam membaca karya Alfin Agnuba dan F. A. Indun, payung pembacaan yang sama kembali digunakan oleh tim kurator. Seri karya Alfin Agnuba yang berjudul Di Balik Layar (2024) dan karya F. A. Indun yang berjudul Flashback Money (2005) sama-sama mempersoalkan pencitraan yang dilakukan negara dan bagaimana sebuah rezim mewariskan ingatan. Alfin Agnuba memilih perkawinan teknik photolithography dan cetak saring untuk mendukung misi artistik literasi historisnya ini, menghadirkan dua narasi sejarah berbeda atas sebuah tempat berbasis rekonstruksi sejarah lisan. Tujuannya adalah menjadikan konkrit sebuah hal yang bersifat lisan melalui visual dengan menggunakan metode seni cetak grafis dan bantuan refleksi cahaya sebagai sumber efek transisi.
F. A. Indun memilih teknik berbeda. Karya Flashback Money (2005) menjadi momentumnya untuk memberikan porsi besar pada aspek interaktivitas dalam apresiasi karya seni cetak grafis. F. A. Indun mencetak secara digital visual dari uang kertas dalam ukuran mikro yang kemudian dapat diapresiasi melalui penggunaan diorama gerbong kereta yang dilengkapi kaca pembesar sebagai media apresiator mengintip visual yang ditawarkannya. Pilihan ini didasari dorongan dalam diri F. A. Indun, untuk menawarkan kesempatan menginvestigasi pencitraan historis sebuah rezim melalui salah satu alat propaganda politik, visual mata uang.
Berkaitan dengan ingatan, pada pameran ini hadir juga karya Mintio yang berjudul Ruang Di Antara Awan - Spaces Between the Clouds (2021). Akan tetapi, gagasan soal ingatan yang ingin disampaikan melalui karya ini agak berbeda. Mintio justru ingin bicara soal ingatan yang hilang karena proses penuaan. Proses rekonstruksi ingatan yang ditawarkannya dalam karya ini bertujuan mengajak apresiatornya untuk mengambil jeda, membayangkan proses penuaan dan masa tua macam apa yang ingin mereka jalani nanti. Visual pada karya Ruang Di Antara Awan - Spaces Between the Clouds (2021) ini diciptakannya dengan mencampur berbagai media dari arsip foto lawas, pewarna indigo, water-worn textiles dan teknik cetak sunlit cyanotype.
Karya berjudul Screwed Balls (The Final) (2024) dari Maruto Ardi kemudian membawa cerita berbeda terkait praktik kekaryaan seni cetak grafis. Karya ini dibaca tim kuratorial sebagai akumulasi pengalaman sang perupa dalam dua peran berbeda, preparator pameran seni (art handler) dan pegrafis. Karya ini menggunakan dua logika kerja pada kedua bidang tersebut, pemasangan paku ulir (sekrup) dalam panel pemajangan karya dan mengimitasi gestur mencetak layaknya cat semprot dalam teknik stensil. Dalam karya ini, Maruto menciptakan pola melalui lubang-lubang sekrup. Hadirnya sekrup dalam karya Maruto ini selayaknya logika cat semprot dalam kerja cetak stensil. Karya ini menjadi bukti tegangan antara kerja mekanis dan humanis dalam seni cetak grafis di arena seni rupa kontemporer. Selain itu, unsur bayangan justru krusial dalam karya Maruto Ardi ini, posisinya mendistorsi pandangan apresiator dari tiap jarak yang berbeda.
Tegangan antara kerja mekanis dan humanis sebagai juga muncul dalam karya Irwan Ahmett dan Tita Salina yang berjudul Sweaty Map (2010). Visual yang diproduksi berangkat dari perpaduan antara kerja mekanis cetak saring dan produksi keringat dari tubuh manusia. Pertemuan keduanya pada media kaos kemudian menjadi pembentuk utama visual yang dihadirkan, bermain-main dengan cetak sablon peta Jakarta dan rembesan keringat dengan pola yang relatif sama. Konsep non-visual yang diselipkan pada karya ini adalah isu lingkungan, khususnya perkara temperatur udara Jakarta yang suhunya tinggi (35 derajat).
Terakhir, karya Tisna Sanjaya yang justru diposisikan sebagai pembuka alur pameran ini, mengambil perkawinan antara gestur seni cetak grafis dengan pendekatan delegated performance sebagai titik tolak. Tisna Sanjaya menggunakan bola, yang disebutnya sebagai lambang perdamaian dan lumpur sebagai representasi lingkungan, untuk membuat logika cetak bekerja pada karyanya. Interaktivitas kemudian muncul ke permukaan ketika aktivasi karya ini dilakukan. Aktor-aktor non-profesional seni akan terlibat, mencetak jejak menggunakan bola berlumpur pada bidang tembok, setelah mereka mengartikulasikan pernyataannya atas isu utama yang ingin direspon Tisna Sanjaya, isu kemanusian dewasa ini.
Kurang dan lebih, beginilah hasil pembacaan karya-karya yang dipamerkan oleh tim kuratorial. Seluruhnya dirangkai untuk menunjukkan betapa lenturnya seni cetak grafis sebagai tradisi artistik dan luasnya jalaran praktiknya dalam seni rupa kontemporer sampai hari ini. Cara memandangnya memang bisa jadi kabur dan lebih menyulitkan. Namun, kerangka kuratorial pameran ini ingin menawarkan upaya memeriksa penonjolan watak seni cetak grafis dalam kelenturan dan keluasan tersebut sebagai cahaya pemandunya.
Referensi
Kirker, Marjorie Anne. (2009). Printmaking as an Expanding Field in Contemporary Art Practice: A Case Study of Japan, Australia and Thailand. [Academic Paper]. Department of Visual Arts, Queensland University of Technology. https://eprints.qut.edu.au/29746/1/Marjorie\_Kirker\_Thesis.pdf.
Saff, Donald & Deli Sacilotto (Penerjemah Drs. Andang Suprihadi P.). (Tanpa Tahun Penerjemahan). Sejarah dan Proses Seni Grafis (Printmaking: History & Process) Bagian Pertama (Terjemahan). Yogyakarta: Fakultas Seni rupa dan Desain Institut Seni Indoneisa Yogyakarta.
Sucitra, I Gede Arya. (2015). “Wacana Postmodern dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia”. Journal of Contemporary Indonesian Art, Volume 1 No.1 – April 2015. DOI: 10.24821/jocia.v1i1.1750.
Suseno, Bayu Aji (2014). “Eksistensi Seni Grafis Monoprint dalam Kesenirupaan Yogyakarta”. Journal of Urban Society’s Arts, Volume 1 Nomor 2, Oktober 2014: 110-120. DOI: 10.24821/jousa.v1i2.792.
Zahrawaan, Amy. (2022). “Perkembangan Seni Grafis di Era Kontemporer”. JURNAL VISUAL IDEAS, Volume 2 Nomor 2, Agustus 2022.