registerRegister

Menjelang Hari Gemilang

Festival Seni Cetak Grafis “Trilogia”


Seni cetak grafis adalah jejalin dari paradigma seni grafis dan seni cetak. Seni grafis sendiri adalah sebuah metode penciptaan seni dengan menggunakan media garis dengan seluruh elaborasi. Dalam proses penciptaannya menggunakan teknik cetak, baik cetak tunggal, tinggi, rendah maupun gabungan dari semuanya. Garis sebagai unsur utama sering dilupakan. Padahal, pada titik inilah seni grafis membedakan dirinya dengan seni lukis yang melihat garis sebagai draft atau karya sementara sebelum ditimpa oleh tekstur, blabar dan serangkaian perlakuan yang membuat garis tidak lagi menjadi bagian penting.

Seni cetak dalam konteks festival ini tak melulu mengacu pada teknik cetak yang kerap diampu oleh akademi seni konvensional, yang lebih fokus pada teknik cetak tradisional, tapi melaju pada teknik cetak dengan seluruh kemungkinan perkembangannya. Dengan cara pandang ini seni cetak grafis membuat seni grafis akademis dan seni cetak industri sebagai sebuah bagian integral dari budaya seni cetak grafis. Menerima seni cetak industri, seni grafis tradisional dan kiwari berada dalam satu kotak dan melihat seni sebagai sebuah peristiwa artistik berlapis-lapis, saling menyapa dan menyaru.

Dengan mengacu pada cara pandang di atas, festival ini bergerak mencari jati dirinya. Alih-alih menggunakan terminologi pameran, konsep festival dipilih sebagai benang merah untuk merangkum seluruh peristiwa yang mengiringinya. Bukan saja pameran seni cetak grafis, akan tetapi juga peristiwa teater, film, pasar dan serangkaian diskusi dan pertunjukan musik.

Pameran dalam festival ini akan menggunakan metafora tubuh manusia untuk melihat seni cetak grafis. Lantai pertama adalah kaki sebagai penyangga yang menawarkan arsip sebagai titik tolak untuk melihat sejarah seni cetak grafis di Indonesia. Pendekatan sejarah ini akan merangkai peran dan posisi sosial seni cetak grafis dalam konteks sejarah. Dimulai dari era pra Indonesia hingga gelora revolusi sosial di akhir tahun ‘60an. Pada ruang ini akan nampak bagaimana seni cetak grafis memainkan perannya sebagai alat propaganda, baik secara tersamar, menyaru, maupun langsung tanpa tedeng aling-aling. Seni cetak punya kelebihan pada sifatnya yang dapat mengganda. Kelebihan ini membuatnya menjadi alat perangkat efektif untuk memengaruhi pikiran, pendapat, bahkan imajinasi penontonnya.

Arsip yang terkumpul dari berbagai sumber diolah ulang baik format, media, maupun besarannya, kemudian ditampilkan dalam sebuah koreografi visual untuk mendekati atau memperoleh dampak serupa seperti ketika diciptakan. Dalam pameran ini arsip terpilih selalu mempunyai jejak seni cetak grafis di dalamnya, baik itu berupa litografi, etsa, sablon, poster atau ilustrasi. Oleh karena itu, riset dan pengolahannya menjadi rumit karena harus meneliti sejarah penciptaannya, apakah melalui jalan seni cetak grafis atau tidak.

Arsip yang telah dikemonah disusun dalam kerangka waktu yang relatif longgar dan saling di tumpuk undung untuk menghindari waktu sejarah kolonial; kronologis dan periodik. Oleh karena itu, selama melakukan riset ditemukan fakta bahwa propaganda sesungguhnya tak pernah berubah pola dan agendanya. Mengolahnya secara kronologis bisa jadi mengaburkan watak dan sifat propaganda yang hakikatnya lekat dan kekal. Apa yang dilakukan para cerdik cendekia kolonial dilakukan juga oleh intelektual kanan di masa Orde Baru. Perbedaannya adalah pada media propagandanya serta teknik dan jumlah cetaknya saja.

Selain menelisik peran negara dan korporasi dalam praktik propagandanya, lantai satu juga menyoroti bagaimana seni cetak grafis sebagai alat propaganda dipakai oleh pihak yang lebih lemah, dalam hal ini pejuang revolusi Indonesia di tahun ‘40an atau komunitas transgender, untuk menyuarakan dan menyebarkan gagasan alternatifnya. Hal yang menarik diamati adalah bahwa pada ruang dan waktu yang sama kedua belah pihak yang saling bertentangan ini menggunakan cara yang kurang lebih sama untuk berkontestasi menyerukan ide dan gagasan. Bisa jadi karena seni cetak grafis murah, mudah, dan dapat diproduksi dalam waktu yang cepat menjadi pilihan alat propaganda yang mangkus dan sangkil oleh siapa saja.

Beranjak ke lantai dua, yang dapat diasosiasikan sebagai tubuh seni cetak grafis, menampilkan seni ini dalam konfigurasi silang-sengkarut antara natural dan teknologis. Antara sentuhan manusia dan rekayasa teknologi untuk membuat dan membawa seni cetak grafis dalam tataran yang lebih luas. Dikembangkan, diperluas atau di-jembeng menjadi tak gampang dikenali watak seni cetaknya. Akan tetapi, di balik pembongkaran teknik, visi dan perilaku sesungguhnya tetap berupaya menempatkan seni cetak grafis ke habitat aslinya sebagai seni; terus berubah dan bertanya tanpa benar-benar mau beranjak dari platform seni cetaknya. Kecenderungan untuk tetap menghormati dan nguri-uri sehingga watak seni cetak grafis menunjukkan meski bertolak tapi tak mau jadi Malin Kundang. Meski sudah memiuh tinggal jadi jejak dan bebayangan, tapi rumah tetaplah ada untuk dikenang.

Selain soal teknik atau metode yang di-jembeng, tubuh seni cetak grafis memaparkan juga sejumlah narasi yang berada pada sisi balik senyap. Narasi yang lamat-lamat diperbincangkan dalam seni rupa hari ini. Narasi pinggiran. Tak banyak seniman yang mau membawa dalam proses penciptaan, oleh karena risiko yang bisa jadi muncul. Boleh jadi, “keberanian” ini muncul karena watak asli dari seni cetak grafis yang sejak awal digunakan untuk menggendong cerita: lahir dari rahim teks. Dari biara kuno di Bavaria sampai gilda ukiyo e dari seniman dimabuk sake, seni cetak grafis memberi ruh dan menguatkan teks. Bahkan sering kali mampu memberi warna dan konteks baru pada teks yang dihambanya. Sehingga, secara instingtif punya nyali untuk sedikit nyerempet-nyerempet bahaya. Narasi pinggiran adalah cara untuk berkontestasi dengan media seni lain. Alih-alih berhadapan langsung ia mengambil jalan berbeda. Menggarap wilayah kosong: narasi kritis yang tak berani disuarakan oleh seniman dari disiplin lain.

Merangkak naik ke lantai tiga, melewati anak tangga yang meripih karena waktu, kita menjumpai wajah seni cetak grafis ketika hidup dalam rahim awam. Sebagai simbol kepala, lantai ini menawarkan banyak gagasan yang berseliweran dari persentuhan antara seni cetak modern dengan seni grafis dan juga respon sensorik dari penonton yang menyerapnya.

Metode yang berkembang pesat pada dekade terakhir, kemudahan teknologi, membuatnya jadi masif. Sifat yang mau tak mau membuatnya direngkuh oleh sistem ekonomi kapitalistik, dijadikan budak untuk memuaskan hasrat konsumsi yang tak berkesudahan.

Turunan-turunan dari pertemuan antara seni cetak grafis dengan berahi konsumsi terwujud dari bagaimana ia dapat ditemukan pada kehidupan kita sehari-hari. Tanpa kita sadari seni cetak sudah menubuh pada homo kapitalistus, bahkan membentuk interaksi sosial dan identitas individu. Gambar cetak sablon di atas kaos penggemar klub sepak bola lokal tak melulu bicara soal garis atau warna, tapi mewakili kebanggaan, memori kolektif, dan identitas personal. Dari benda sehari hari, oleh karena cetak sablon di atasnya, berubah menjadi simbol kelompok bahkan jimat pelawan laknat.

Lantai tiga ini menunjukkan bagaimana seni cetak grafis bermain dalam tataran emosi, tak lagi pada aspek visual semata. Digunakan bukan saja untuk menyenangkan tapi juga memuaskan hasrat, mempererat identitas kelompok, bahkan mampu menaikkan status sosial. Satu fenomena yang tak terbayangkan ketika ratusan tahun lalu seorang seniman gereja menatah balok kayu untuk mengisi lembar-lembar kosong dari kitab suci di Nuremberg. Seni cetak yang awalnya secara terbatas bisa diakses, telah bertiwikrama menjadi raksasa besar. Dan mengisi, memuaskan hasrat kita sebagai manusia kapitalistik di era kiamat semu hari ini.

Mengunjungi dan menyaksikan festival ini kita akan melihat bagaimana seni cetak grafis sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari hidup kita sehari-hari. Kepandiran seni grafis akademik memang membuatnya nyaris mati. Akan tetapi gejolak kawula di luar kungkungan akademi seni membuat seni cetak ini bertiwikrama, sehingga sebagai medium tetap bisa hadir mewarnai hidup. Bahkan tanpa kita sadari membentuk citra dan rasa kita hari ini.

Agung Kurniawan Direktur Artistik