Seminar Umum
Watak Seni Cetak Grafis di Indonesia
13 Desember 2024, 09:00-12:00 WIB
Ruang Koendjono, Lantai 4, Gedung Rektorat Kampus II, Universitas Sanata Dharma
Istilah ‘watak’ merujuk kepada karakteristik atau sifat yang menonjol dari sebuah entitas. Dalam konteks seni cetak grafis watak yang menonjol, antara lain, massal, distributif, repetitif dan kontekstual. Keempat watak tersebut kemudian menjadi posisi pandang untuk memproblematisir berbagai fenomena seni cetak grafis melalui seminar umum ini.
Sebagai upaya mendekati keempat watak tersebut, ada tiga jalur yang kemudian dipilih. Jalur pertama adalah “Seni Cetak Grafis dan Sejarah”. Catatan sejarah panjang praktik seni cetak grafis di Indonesia akan coba digelar sesuai dengan kebutuhan, yaitu menemukan peristiwa historis yang menjadi titik perhentian dalam perjalanan medium artistik tersebut. Citra Smara Dewi, kurator Galeri Nasional sekaligus akademisi Institut Kesenian Jakarta, akan menjadi pemantik diskusi jalur pertama ini.
Dalam paparannya, Citra Smara Dewi akan lebih dulu membawa kita kembali ke masa kolonial untuk menelusuri “Peta Jalan Seni Cetak Grafis Jakarta”. Dalam tulisan ini Citra memeriksa beberapa karya litografi dari pegrafis Abraham Salm, W. D. Wieman sampai dengan karya-karya ilustrasi Baharudin Marasutan yang dicetak menggunakan teknik woodcut. Selain sosok pegrafis dan karyanya, ia juga mencuplik rekam jejak Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ, sekarang IKJ) untuk melihat sejauh mana lembaga ini berkontribusi atas pengembangan praktik cetak grafis di Jakarta.
Citra Smara Dewi, masih dengan perspektif historis, kemudian membenamkan pembahasannya atas beberapa sosok pegrafis perempuan yang memberikan warna tersendiri dalam sejarah seni cetak grafis di Indonesia, khususnya Jakarta. Ia mengamati persilangan teknik cetak yang dipilih serta gagasan yang dikomunikasikan untuk melihat sejauh mana pengaruh aspek tersebut terhadap tarik-ulur penggandaan dan ketunggalan dalam seni cetak grafis.
Jalur pendekatan yang kedua adalah “Wajah Seni Cetak Grafis dan Seni Rupa Kontemporer”. Pemeriksaan kembali dinamika keluasan praktik seni cetak grafis dalam arena seni rupa hari ini. Bagaimana tegangan terjadi dalam setiap kemunculannya pada seni rupa kontemporer? Alexander Supartono, akademisi dari School of Arts and Creative Industries, Edinburgh Napier University, menjadi pemantik melalui tulisannya berjudul “Original Copy: Watak Politik Kerja Cukil Kayu”.
Sosok yang memiliki keterlibatan panjang dalam pergerakan kolektif Taring Padi ini akan berangkat dari permasalahan utama dari dua pertanyaan dasar: (1) Mengapa cukil kayu sangat efektif sebagai alat politik?; dan (2) Apa watak dan karakter cukil kayu yang menjadikannya medium popular untuk kerja-kerja politik? Dua pertanyaan mendasar ini akan dibahas dengan tujuan membongkar salah satu pondasi terpenting seni rupa modern, yaitu nilai ketunggalan (uniqueness).
Masuk kepada perbincangan soal watak seni cetak grafis sebagai konsekuensi dari kejamakan (multiplicity) karya cetak cukil kayu, maka keaslian (originality) menjadi absen. Kondisi ini terjadi karena setiap edisi atau cetakan (copy) memiliki nilai keaslian yang sama dan sejajar (original copy). Alexander Supartono lantas akan mengarahkan pembahasan ini ke analisis atas sejarah dan praktik cukil kayu mutakhir untuk menunjukkan bahwa hilangnya nilai keaslian justru memberikan watak politik pada kerja cukil kayu.
Jalur terakhir, pendekatan ketiga, kami beri nama “Seni Cetak Grafis dan Budaya Material”. Jalur pendekatan ini akan membawa kita ke sebuah pertanyaan mendasar, lantas, apa yang bisa dilakukan seni cetak grafis sebagai ujung tombak budaya material? Jalur pendekatan ini akan dibuka oleh Stanislaus Sunardi, akademisi Universitas Sanata Dharma, dengan tulisannya yang berjudul “Mempertimbangkan ‘Tekne’ Kembali: Catatan tentang Seni Cetak Grafis di Indonesia”.
Sunardi bertolak dari sebuah pertanyaan: Ke arah mana sebaiknya kaitan antara seni cetak grafis dengan seni murni (fine art) kita bawa? Pembahasannya kemudian berangkat dari tiga hipotesis, yaitu: (1) seni grafis lahir terutama bersamaan dengan masyarakat modern yang ditandai dengan budaya massa dengan selera baru; (2) seni cetak grafis mengantarkan kita untuk menghidupkan kembali budaya objek atau budaya ‘tekne’ yang selama ini tertindih oleh budaya pikiran yang ditekankan dalam fine art; (3) secara paradoks seni grafis yang lahir bersamaan dengan masyarakat modern justru menumbangkan paradigma estetika modern menuju trans-estetik sebagai praktik pengetahuan.
Ketiga hipotesis ini kemudian mendudukkan seni cetak grafis sebagai seni yang lahir dari keseharian kita yang masuk dalam masyarakat modern. Bagian pembahasan dilakukan dengan meminjam pendekatan konseptual trans-estetik dan melakukan pergeseran penekanan kepada aspek performativitas (dari pada ekspresi) suatu peristiwa seni. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa dalam seni cetak grafis apropriasi dapat menggantikan fungsi gagasan estetika modern sebagai kemungkinan untuk mengalami suatu peristiwa seni.
Paparan dari ketiga ‘juru pantik’ yang dimoderatori oleh Bambang Witjaksono ini akan menjadi ajakan bagi seluruh peserta untuk ikut berkontribusi dalam diskusi publik yang dilakukan. Penelusuran lebih jauh melalui respon peserta diskusi publik menjadi bahan bakar yang menggerakkan perbincangan menuju semesta watak seni cetak grafis di Indonesia.
Pembicara 1 : Alexander Supartono
Judul : Original Copy: Watak Politik Kerja Cukil Kayu
Profil : Alexander Supartono adalah seorang sejarawan seni, kurator dan dosen di School of Arts and Creative Industries, Edinburgh Napier University. Beberapa publikasinya, antara lain, bab buku berjudul Modernist Album: Kasian Cephas and Commercial Photography in the Dutch East Indies (2023), bab buku berjudul Walter Bentley Woodbury: Portraits from the Princes Land (2023), bab buku berjudul The Silent Waiting: Javanese Antiquity and 19th century Photography in the Dutch East Indies (2022), artikel ilmiah berjudul “Vom Eigentum zur Autorschaft”. Koloniale Archive neu lessen. Ein Gespräch (penulis lain: Dr Sophie Junge dan Liesbeth Ouwehand) (2021), dan artikel ilmiah berjudul Contesting Colonial (Hi)stories: (Post)colonial Imagining of Southeast Asia (penulis lain: Dr. Alexandra Moschovi) (2020). Alexander Supartono punya fokus kajian pada seni modern dan kontemporer di Asia Tenggara. Untuk kontak lebih lanjut dapat melalui alamat surel a.supartono@napier.ac.uk.
Pembicara 2 : Citra Smara Dewi
Judul : Peta Jalan Seni Cetak Grafis Jakarta
Profil : Citra Smara Dewi adalah kurator Galeri Nasional Indonesia (sejak 2018 sampai sekarang) sekaligus akademisi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dalam lima tahun terakhir, beberapa karya tulisnya telah dipublikasikan dalam bentuk buku, antara lain, “Hasim Pelukis Betawi legendaris” (2024), “Seni Grafis Kenusantaraan; Kaji Hasim Pelukis Betawi legendaris” (2024), “Seni Grafis Kenusantaraan; Kajian Koleksi GNI era 1950-an hingga 1970-an” (2021), kumpulan tulisan pada buku “Dolorosa Sinaga: Tubuh, Bentuk, Substansi” (2020), dan bab buku “Dunia Koleksi Hulu Hilir Kepemilikan Karya Seni” (2019). Sebagai akademisi, minat kajiannya adalah seputar sejarah seni rupa dan kuratorial. Untuk kontak lebih lanjut dapat melalui alamat surel: citradewi@senirupaikj.ac.id, citradew@yahoo.com.
Pembicara 3 : Stanislaus Sunardi
Judul : Mempertimbangkan ‘Tekne’ Kembali - Catatan tentang Seni Cetak Grafis di Indonesia
Profil : Stanislaus Sunardi (St. Sunardi) adalah pengajar di Universitas Sanata Dharma. Telah menulis beberapa buku, seperti “Suka Hardjana. Manusia Anomali Tanpa Kompromi” (2014), “Vodka dan Birahi Seorang Nabi. Esei-esei Seni dan Estetik” (2012), “Ki Hadi Sugito. Guru Yang Tidak Menggurui” (2011), “Tahta Berkaki Tiga” (2004), “Elo, Elo! Lha Endi Buktiné. Seabad Kelahiran Empu Karawitan Ki Tjokrowasito” (2004), dan “Semiotika Negativa”, yang pertama kali dicetak pada 2002 dan beberapa kali cetak ulang sampai dengan 2013. Minat kajian dari St. Sunardi adalah kritik seni, Islamic studies dan pendidikan. Untuk kontak lebih lanjut dapat melalui alamat surel sendangsinura@yahoo.com.
Moderator : Bambang Witjaksono
Profil : Seorang kurator, dosen dan seniman yang lahir pada 27 Maret 1973 di Yogyakarta. Setelah lulus minat utama seni grafis dari Fakultas Seni Rupa dan Desain di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 1997, Bambang kemudian menjadi dosen di almamaternya sejak 1999. Bambang menyelesaikan gelar masternya pada 2005 dari Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan sejak 2019 menempuh program doktoral pada program Kajian Seni dan Budaya (Seni dan Masyarakat), Universitas Sanata Dharma. Bambang juga sering mengikuti program-program sebagai seniman, antara lain, residensi di Liechtenstein (2003), New Delhi (2006), Darwin (2008) dan San Fransisco (2018). Awal 2023, dia mendapat beasiswa dari Bern-Rhode Award untuk belajar tentang restorasi karya seni grafis dan drawing di Heiligenkreuz Abbey, Austria. Ia adalah salah satu pendiri Apotik Komik, sebuah kolektif yang muralnya khas langsung dikenal di jalanan Yogyakarta dan terus berperan aktif dalam kancah seni rupa Indonesia. Sejak 2008 Bambang bersama Heri Pemad menginisiasi acara ART JOG dan menjadi kuratormya sejak 2012 hingga sekarang. Selain di Yogyakarta, Bambang juga melakukan kerja kuratorial beberapa pameran di Jakarta, Semarang, Singapura, Bulgaria, dll. Peran terbarunya sebagai kurator beautifikasi di beberapa tempat, seperti Bandara Jenderal Ahmad Yani, Semarang (2018), kurator beautifikasi Bandara Internasional Yogyakarta (2020), kurator beautifikasi underpass YIA (2020), kurator beautifikasi underpass Kentungan (2020), kurator beautifikasi Jembatan Kretek II, Bantul (2023) serta kurator beautifikasi jembatan layang Madukoro, Semarang (2024), menunjukkan betapa penting sosoknya dalam perkembangan/ pembangunan kawasan. Kini Bambang sedang menyelesaikan disertasinya tentang bandara sebagai titik simpul baru bagi perkembangan kawasan. Bambang tinggal dan bekerja di Yogyakarta.